The Glam Girls : Reputation

img_1236

“Menurutmu kami cantik, dan diam-diam kamu benci setengah mati karenanya. Malamnya, dalam doa kamu bertanya, kenapa Tuhan bisa sebegitu nggak adilnya.  Well, itu anugerah. Kalo kamu benci kami karena sesuatu yang dibawa sejak lahir, apa akan adil kalo kami juga membencimu karena pintar ?”

 

Itulah sekelumit kalimat yang diambil dari back cover novel baru serial THE GLAM GIRLS terbitan GAGAS MEDIA berjudul REPUTATION yang ditulis oleh TESSA INTANYA. Membaca kalimat itu memang sepertinya sudah bisa menggambarkan apa isi novel ini. Terlebih embel-embel THE GLAM GIRLS sudah jelas-jelas menunjukkan tentang apa novel ini berkisah.

 

Yup, ini memang kisah tentang sebuah clique (baca : geng) yang terdiri dari 3 orang cewek cantik dan tajir : RASHIDA AGASHI a.k.a Rashi, SHINA MAESSA WIJAYA a.k.a Maybella dan ADRIANNA FERNANDHITA FAUZI a.k.a Adrianna. Mereka bertiga adalah murid grade 10 di VOLTAIRE INTERNATIONAL SCHOOL, sebuah sekolah Internasional yang murid-muridnya hanya terdiri dari dua katagori : Kalo nggak kaya banget ya pinter banget.

 

Buku ini sendiri adalah buku kedua dari serial The Glam Girls. Buku pertama ditulis oleh NINA ARDIANTI dengan mengambil cerita dari sudut pandang Adrianna, yang menceritakan bagaimana si Ad yang tadinya membenci Rashi dan clique-nya tapi malah belakangan bergabung dengan clique dan mendepak MARION THEROUX dari anggota clique. Di buku kedua yang ditulis Tessa, cerita mengambil sudut pandang Rashi. Dan di buku ketiga nanti yang akan segera dirilis berjudul UNBELIEVABLE, cerita diambil dari sudut pandang Maybella dan ditulis oleh WORO LIANA.

 

REPUTATION mengupas habis soal Rashi. Dari keluarga besarnya yang complicated karena bapaknya 4 kali menikah, kehidupan percintaan, kebenciannya pada sang Ibu kandung, hobi belanja barang-barang branded, sampai upaya Rashi mempertahankan reputasinya karena sebuah blog telah menulis hal-hal buruk yang bisa menjatuhkan reputasinya itu. Tessa menulis cerita dengan teknik bertutur yang lancar dan runtut, tentu dengan -ini memang ciri khas Tessa- taburan kalimat berbahasa Inggris yang tersebar dalam narasi ataupun dialog. Bagi yang jago bahasa Inggris memang tidak bermasalah, tapi bagi mereka yang bahasa Inggrisnya pas-pasan, membaca novel ini setidaknya harus memegang kamus. Tapi mengingat kemasan novel ini, kayaknya pasar yang dituju memang anak muda yang sudah ‘melek’ bahasa Inggris, which is mereka yang ada di kota-kota besar, jadi taburan bahasa Inggris itu memang ‘sesuai segmen’.

 

Tessa cukup lihai mengatur plot cerita. Tapi ada beberapa hal yang gue anggap ’mengganggu’.

 

PERTAMA : kebencian Rashi kepada ibu kandungnya. Digambarkan Rashi sangat membenci ibunya, sampai-sampai dalam narasi cerita dia menyebut ibunya dengan namanya saja ’Ayu’ tanpa embel-embel. Tapi penjelasan soal kenapa Rashi membenci ibunya rasanya kurang meyakinkan.

 

KEDUA : peristiwa malam tahun baru 2006. Diceritakan disitu bahwa Indah, salah seorang frenemy (teman tapi musuh) Rashi membuat ulah dengan merebut cowok yang sudah punya pacar dan kemudian malah Indah memberikan cowok itu kunci kamar hotelnya lalu mereka menghabiskan malam tahun baru berdua di kamar. Setting cerita saat ini umur Rashi dan Indah 16 tahun, dan kejadian itu diceritakan terjadi tahun 2006, which is umur Indah masih 13 tahun !!! rasanya gak masuk akal aja seorang cewek berumur 13 tahun ’berani’ menyerahkan kunci hotel tempatnya menginap kepada seorang cowok. Atau apakah memang sudah lazim terjadi di kalangan jetset kita ???  

 

KETIGA : membaca ’kalimat’ di back cover yang gue kutip diatas tulisan ini, rasanya sudah jelas kalo clique ini berisi sosok-sosok cantik yang ’tidak pintar’ (kecuali Ad), tapi membaca novel ini malah terkesan Rashi itu cewek yang cerdas, bahkan diceritakan berhasil membuat blog fashion yang cukup mengagumkan. Rasanya blog semacam ini hanya bisa dibuat oleh orang yang ’pintar’.

 

KEEMPAT : bertebarannya  berbagai merk dan jenis branded fashion dalam cerita cukup mengganggu (buat gue sih, mungkin buat mereka yang benar-benar ngerti branded fashion gak  bermasalah), soalnya biar mikir sampai jedotin kepala, gue gak bakalan kebayang seperti apa bentuknya oversized intrecciato tote bag  Bottega Venetta, gaun crepe de chine Kitten, cocktail ring Maison Martin Margiela, dan masih banyak lagi fashion item yang gak kebayang sama sekali di kepala gue, padahal barang-barang itu dipakai untuk menggambarkan sebuah adegan, yang akhirnya ‘gagal’ gue bayangin seperti apa.

 

Apapun, novel ini cukup enak dibaca, terutama oleh mereka yang mengerti fashion, dan tentu saja mereka-mereka yang jago berbahasa Inggris. Sebuah karya yang sedikit banyak menggambarkan kehidupan anak-anak muda (super) kaya di negeri ini.